Pernah kah engkau mendengar kisah istri Umar bin Abdul Aziz Radhiallahu anhu? Ini adalah sebuah kisah  agung tentang pengorbanan dan keikhlasan seorang istri  akan sikap suaminya yang shalih.
Waktu itu sudah menjadi kebiasaan  bahwa putri seorang khalifah atau kepala Negara Islam waktu itu, masa Dinasti Umaiyah, bergemilangan dengan kekayaan, perhiasan dan kenikmatan dunia.Tak terkecuali calon istri Umar bin Abdul Aziz.

Ia adalah Fatinah binti Abdul Malik bin Marwan (Khalifah Bani Umayah tahun 65 H). Ketika ia menikah ia merupakan istri seorang Khalifah terbesar, yan berkuasa atas negeri Syam, Irak, Hijaz, Yaman, Iran, Sind, Kaukasia, Krim dan terus kesebelah Timur. Tidak hanya itu kekuasaan Khalifah juga meliputi Mesir, Sudan, Libia, Tunis, Al jazair, Madrid dan Spayol.
Ia keluar dari istana sang ayah kerumah suaminya dengan membawa banyak perhiasan emas, permata, mutiara manikam yang tiada ternilai harganya. Diantara sekian banyak anting-antingnya, ada sebuah anting-anting yang di sebut “Anting Maris”. Benda ini amat terkenal dalam sejarah dan sering menjadi ilham para penyair dalam mengubah lagu.
Ketika Umar diangkat menjadi Khalifah, sambil menangis akan beratnya tanggung jawab yang beliau jalankan, sambil menangis akan beratnya tanggung jawab yang beliau jalankan, Umar member alternatif pilihan bagi istrinya, cerai atau menyerahkan semua harta benda keluarga ke baitulmal. Istri Umar lebih memilih alternatif kedua, menemani sang suami mengarungi bahtera rumah tangga dengan seluruh konsekuensinya. Sang First Lady  Fathimah, istri seorang kepala Negara, memilih dan mengutamakan hidup sederhanadan menjauhakn dari perbudakan hawa nafsu kemewahan dunia.
Umar bin Abdul Aziz menetapkan anggaran belanja rumah tangganya hanya berapa dirham sehari, padahal ketika itu dia adalah penguasa tertinggi Negara pada masa itu. Fathimah sang istri dengan tulus ikhlas menerima keputusan itu, karena ia merasa bahagia hidup dengan kesederhanaan. Didampingi olej seorang suami yang selalu mengajaknya memikirkankan kesejahteraan umat, berpikir logis serta dewasa, membaut Fathimah semakin jauh dari kehidupan mewah. Dengan patuh ia menjalankan anjuran sang suami untuk menanggalkan semua perhiasaan yang menghias kedua telinga, rambut, dan kedua  untuk diserahkan kepada Baitulmal, agar jika keadaan mendesak dapat  dijual dan uannya digunakan untuk keperluan rakyat yang miskin.
Khalifah yang shalih, adil dan sederhana itu tidak lama memerintah. Allah Subhanawata’ala memanggilnya kembali kepada-Nya, dengan tidak meninggalkan sesuatu apapun untuk anak istrinya. Bendahara baitulmal datang menemui istri Almarhum seraya berkata :”Perhiasan nyonya masih utuh  kami simpan. Kami menganggap perhiasan-perhiasan itu sebagai barang titipan yang harus kami jaga dan akan kami berikan kembali jika nyonya perlu. Saya datang untuk mendapatkan persetujuan nyonya. Kalau Nyonya berkenan menerima kembali perhiasan itu, saya segera akan membawanya kesini.!”
Dengan tegas Ftahimah menjawab, bahwa ia telah menyerahkan semua perhiasan itu kepada kas baitul mal, karena patuh dengan nasihat Amirul Mukminin, suaminya. Fathimah berkata, ‘Tidak mungkin saya patuh padanya selagi ia ada, kemudian melanggarnya ketika ia sudah tiada.

Sumber : Atas Dasar Cinta, Nino Yudiar,